Minggu, 7 april 1985, aku ingat betul, itulah hari dan tanggal pernikahan kakak tertuaku Ka Sari Mariani dengan Ka Didit ( Aliansyah Mahadi), itulah kali pertama abah dan ibu menikahkan anak nya, entahlah apa yang mereka rasakan, yang jelas pada saat itu aku tidak bisa memahami kesibukan mereka, belum bisa di ajak sharing. karena aku masih kelas 3 smp. yang terekam dalam ingatanku hari itu abah dan ibu gembira sekali, karena dapat menantu, satu anggota baru dalam keluarga kami.
Mengapa aku begitu mengingat hari dan tanggal tersebut, karena ada hal dalam sepenggal kisah itu yang sangat berpengaruh dalam merubah pandangan hidupku, tentang hidup dan kehidupan ini.
bahwa jodoh adalah anugrah dari sang pemberi, Allah SWT, jangan pernah kau berpikir untuk menyia-nyiakannya, apalagi mengkhianatinya. Bahwa hidup adalah bukan untuk menipu mata orang di sekitar kita, membuat mereka mengira-ngira siapa diri kita sebenarnya..alangkah nikmatnya kalau hidup itu apa adanya, tanpa topeng kepalsuan, akuilah..ini adalah kita, kita yang terlihat apa adanya, kita sebagai diri kita sendiri...bahwa janganlah kita menuntut apa yang pasangan kita tak mampu berikan, bahwa pernikahan bukanlah perkara yang gampang, gampang di ikat, mudah pula di lepaskan, bahwa selama aku melihat kehidupan pernikahan kakak tertuaku.. dapatlah ku simpulkan bahwa kebahagiaan itu datangnya dari diri kita sendiri, begitu juga dengan kesulitan.
Ternyata tidaklah mudah membangun sebuah rumah tangga yang hanya bermodalkan cinta, nekad, atau tempat perlarian semata. betapa ia butuh banyak pengertian, kepercayaan, kesetiaan, kelembutan dan ilmu agama yang mapan. Sempat takut memasuki gerbang pernikahan... karena betapa bisa di hitung dengan jari kebahagiaan yang di reguk mereka.. selebihnya hanya keluhan, tuntutan yang tak logis yang singgah dalam benakku sebagai seorang adik yang hanya bisa diam , tidak bisa menegur dengan kata-kata.
Kalaulah akhir dari sebuah perjalanan berumah tangga yang sudah di coba-dan di coba di pertahankan selama 16 tahun akhirnya kandas juga, itu bukan sesuatu yang mengejutkan buat kami, segala do'a dan usaha telah kami upayakan untuk mereka, tapi kaka selalu melemparkan jawaban bahwa jodohnya sudah habis, wallahualam, benar apa tidaknya, Allah yang Maha Rahman dan Maha Rahim telah menuntaskan kasih sayang yang ia tebar di muka bumi ini. Sungguh suatu pelajaran hidup yang sangat amat berharga bagi kami adik-adiknya untuk mengkaji dan memahami, bahwa sebuah perkawinan bukanlah sesuatu yang mudah untuk di pertahankan, begitu banyak yang harus di pelajari setiap hari, karakter pasangan kita yang kadang ada kejutan-kejutan, yang sebelumnya tidak pernah kita ketahui... di perlukan kesiapan mental yang luar biasa untuk menjadikan rumah tangga kita bisa bertahan di antara godaan-godaan baik dari luar maupun dari dalam diri kita.
Bagai sebuah cerita yang sudah kita ketahui akhirnya, perpisahan tidak pernah menyisakan kebahagiaan, anak-anak yang menjadi korban ke egoisan adalah korban yang terlihat pertama. sungguh ...pabila ku ingat semua itu.. hancur hatiku,remuk.. marah..tapi pada siapa? miris melihat dua keponakanku.. betapa kejam sebuah perpisahan, mengapa kalian hadirkan mereka ke dunia, kalau hanya untuk menyakiti hati mereka, kalian hancurkan harapan mereka... berat nafasku untuk mengingat semua itu... tapi peristiwa itu tak pernah bisa di delete dari memory otakku.
But life must go on. Allah maha penolong yang sebenar-benarnya penolong. Jalan hidup yang pahit dan getir mereka lalui dengan pengorbanan perasaan yang sampai kapanpun tak bisa kurasakan persis sama seperti mereka..karena alhamdulillah aku bukan anak korban perceraian. Ditahun ke 6 perpisahan mereka, di dalam kesendiriannya kakakku meninggal dunia....Ibarat sebuah cerita yang selalu berakhir dengan kesedihan... dan hanya berteman penyesalan. Kadang aku berfikir... siapa yang salah?...tak pernahkah sedikitpun ingin merubah nasib, hanya dengan mengenal Allah semuanya bisa berubah kearah yang jauh lebih baik..
Bukankah semuanya akan di mintai pertanggungjawaban di mahkamah Allah kelak... takutlah pada ancaman azab Allah, sebagaimana engkau bersemangat terhadap janji-janji Allah.
Begitu aku menganggumi sebuah keluarga yang bisa bertahan puluhan tahun, tetap rukun, akur, kompak, meski tak sering berjumpa... betapa senang aku mengadakan "wawancara kecil" kepada mereka.. dan yang paling sering kutanyakan adalah "berapa tahun sudah kalian mengarungi hidup bersama, bersama anak-anak, kemudian berdua kembali".. itulah mengapa ku tulis judul 25 tahun yang lalu. karena mungkin pada tanggal 7 April 2010 yang lalu apabila cerita nya tidak seperti yang ku uraikan di atas tadi mungkin kami sudah memberi selamat kepada perkawinan kakaku yang menginjak usia perak, tapi cerita nya tidak seperti apa yang ku khayalkan..
Itulah yang menginspirasiku untuk menulis ini, dan di awal tulisan yang ku sebutkan, bahwa ini yang akan merubah pandanganku tentang hidup dan kehidupan, betapa banyak aku belajar dari kegagalan , dari sebuah perkawinan yang begitu gamang akan tujuan. kesungguhan, mengalah demi sebuah keutuhan adalah anak-anak kunci dari kunci kebahagiaan yaitu, sabar dan syukur. Bahwa keberkahan sebuah perkawinan bukan di ukur dari meriahnya pesta resepsi, banyaknya mahar, atau megahnya pakaian dan hidangannya, tetapi dari niat ikhlas kita ingin melaksanakan sunnah Rasul, dari do'a restu orangtua, dari rasa syukur kita, dari sifat qonaah kita.
Ya Allah bantulah aku menjadi orang yang "sempurna' dimata suami dan anak-anakku, inginnya aku menjalani hidup yang lurus, agar kelak kami berdua bisa memandang anak-anak kami tumbuh dewasa dan lurus pula hidupnya, agar siapa pun nanti diantara kami yang terlebih dahulu pergi menjumpaiMu, di lepaskan dengan penuh cinta dan airmata ke ikhlasan, dan dengan do'a yang tiada putus-putusnya. Amien Ya Rabb.
Kamis, 08 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar